Pada tahun 1825-1830 di Kesultanan Surakarta terjadi perpecahan di mana Sultan bekerjasama dengan Belanda, sehingga rakyat yang anti dengan Belanda tidak lagi mentaati kepemimpinan sultan. Rakyat yang anti dengan Belanda mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Karena tertipu muslihat Belanda, Pangeran Diponegoro dan bala tentaranya berhasil ditangkap pasukan Belanda. Namun ada beberapa laskar yang lolos dan lari mengungsi untuk menyelamatkan diri menuju Ponorogo. Kendatipun demikian, mereka sudah berusaha mengungsi ke tempat yang lebih jauh namun para laskar tersebut belum aman, karena masih dikejar-kejar oleh pasukan Belanda sampai ke Ponorogo. Agar tidak diketahui oleh pasukan Belanda, laskar tersebut melanjutkan pelariannya ke daerah yang dipandang aman. Beberapa laskar yang lari tersebut di antaranya yaitu Kiai Ngabdun, Karto Taruno, Sawijoyo, Manguntari, dan Setromenggolo.
Mereka memutuskan mengungsi ke arah timur sampai ke daerah kali Lembu Peteng untuk beristirahat. Kemudian mencari tempat ibadah di masjid Mangunsari. Disitu mereka bertemu dengan Kiai Tawang Sari dan menceritakan apa yang terjadi di Kartosuro (Surakarta) bahwa Kanjeng Sultan berpihak kepada Belanda dan rakyat dikerjakan rodi dengan kejam , maka terjadilah perpecahan di Keraton sendiri yang dipimpin oleh Diponegoro dan kalah kemudian melarikan diri karena dikejar terus oleh Belanda.
Oleh karena para Kiai Mangunsari juga antisipasi dengan penjajahan Belanda dan merasa kasihan , maka para laskar tersebut disuruh menempati tanah gitik Lembu Peteng (tanah kosong) . Disitulah mulai membuat tempat tinggal , selanjutnya secara diam-diam warga simpatisan Diponegoro diboyong ke tempat tersebut . Dalam waktu yang cukup singkat tempat tersebut ramai oleh sisa-sisa laskar yang berbaur dengan warga setempat , yaitu orang-orang Mataram.
Sehingga sampai sekarang terkenal dengan blok Njotangan,lokasinya didesa Plandaan di tepi Kali Lembu Peteng . Keadaan tersebut ternyata tercium oleh pihak Belanda , dan akhirnya mereka menjadi kejar-kejaran pihak Belanda . Atas kondisi itu para pemimpin laskar tersebut memutuskan untuk pergi mencari tempat yang lebih aman . Mereka kemudian naik perahu menyusuri Kali Brantas ke arah timur , dan disuatu tempat yang sekarang disebut dengan Dusun Pundensari , karena mereka menemukan sebuah pepunden yang ternyata adalah makam Kiai Ageng Sungguruh.
Kemudian mereka melaporkan penemuan tersebut ke Kiai Mangunsari , dan bersama Punggowo kadipaten menuju ke tempat tersebut dan ternyata tempat tersebut bekas Keraton Ariyoblitar . Oleh Kiai Ngabdun tempat tersebut diminta untuk dihuni dan digunakan untuk tempat tinggal . Oleh Kiai Tawangsari diberi izin dan nanti apabila ramai tempat tersebut diberi nama Pundensari , atau orang Tawangsari menemukan Punden. Selang bebrbapa waktu keluarga Njotangan banyak yang datang ke Pundensari dan ini merupakan awal tempat tinggal mereka sekarang (Masjid Al Falah Pundensari).
Sebagai pendatang baru dari Mataram , Kiai Ngabdun disarankan untuk menebang hutan . Pada waktu menebang hutan menemukan Prasasti SITIHINGGIL yang bertuliskan bekas Kadipaten Ariyoblitar . Untuk memperluas tempat tinggal baru para pendatang , Karto Taruno dan Manguntari memimpin penebangan hutan tersebut diberi nama Karang Kates , kalau sekarang menjadi Dusun Kates . Babad hutan tersebut semakin kearah Barat , dipimpin leh Tardjo Bonari menemukan Besalen atau Pandean yang ada dibawah Pohon Kepoh Jejer dua dan terdapat tulisan Pajajaran , sekarang Dusun Jajar.
Babd hutan juga sampai ke wilayah sbelah baratnya , sekarang sekitar pasar Rejotangan , dimana babd hutan tersebut dipimpin oleh Mbah Man Tokid , karena sebgaian besar penghuninya adalah laskar pelarian dari wilayah Njotangan, sekitar Lembu Peteng , atas sran Kiai Ngabdun mereka memberi nama tempat tersebut dengan nama Blok Njotangan, setelah wilayah yang lain mempunyai nama sendiri. Ternyata Belanda smapi juga ke wilayah ini dan membuat jalan Tulungagung- Blitar , karena ada peninggalan Ariyoblitar disitu.
Para tokoh tidak brsedia apabila tempat tersebut dimasukkan ke Kadipaten Blitar. Maka terjadi pertikaian dan akhirnya daerah Rejotangan masih tetap menjadi wilayah Tulungagung. Setelah itu Bupati R.M.P Sumardirono mengangkat demang pertama yang tidak hanya mewilayah tempat blok saja. Atas kesepakatan warga maka demangnya adalah Karto Taruno. Untuk menjaga keselamatan rakayt yang berasal dari pengungsi Mataram dan juga untuk mengingat sejarah dari Njotangan , maka desa ini disebut Rejotangan , ramai pendatang dari Njotangan . Setelah lahir UUHIR Belanda desa ini diberi nama Rejotangan.